DLI
2008-05-26 10:04:04 UTC
Opini
Kebangkitan Nasional atau Kebangkrutan Nasional
Oleh : Daniel A Kaligis
25-Mei-2008, 23:02:27 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Kita masih di sini, meramu kata bagi rasa, mata yang
membaca dalam kantuk yang tertahan, karena takut itu sudah beralasan,
jangan-jangan "kesalahan" diberitakan sebagai "kebenaran", naif kata
ejakulasi dan orgasme lupa tersalur, berita yang menghentar banyak tanya
tentang mereka yang sudah duduk di kursi empuk dan menjadi lupa diri untuk
meresapi sendiri. Bagaimana kebangkitan itu?
Mungkin saja berdiri dan jalan-jalan. Atau ia ada di alam sesudah kematian,
lalu bangkit dan menjadi hantu-hantu penasaran. Alinea mula ini mungkin
lebih tepat bagi perfilman dan pesinetronan kita yang dipenuhi dengan
hantu-hantu, badut yang kocak, pada beberapa waktu terakhir ini marak,
sehingga kita menyebutnya "bangkit dari kubur".
Hanya pembuka sebuah kenangan, lupakan saja ratusan tahun masa ketika kita
dijajah. Cerita kebangkitan nasional yang kontroversial. Ada yang menyebut
20 Mei 1908 tak pantas sebagai hari kebangkitan nasional sebab organisasi
yang mengusung nasionalisme di zaman itu, tokoh-tokoh yang berdiri di balik
pergerakan itu adalah Vritmejselareen alias pro penjajah.
Berseberangan dengan pandangan itu, ada yang menganggap 20 Mei 1908 sebagai
tonggak di mana bangkitnya semangat untuk bersatu sebagai bangsa-bangsa yang
terjajah untuk sadar memperjuangkan kemerdekaan, dampak politik etis yang
menderas sejak Multatuli.
Kini! Jangan tanya berapa hutang luar negeri kita yang sudah memaksakan
kemiskinan semakin mengental. Jangan tanya good govenance yang sudah
disinyalir sebagai sebuah pesanan yang juga akan mencabut subsidi rakyat
sehingga ketergantungan kaum kecil itu boleh di-drive negara. Kritik pedas
tentang negeri ini adalah ketika penerapan sistem kapitalisme sudah merajai
dan kita masih mengelak dengan berbagai argumen sambil terlena pada sistem
yang hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil
menumbuhsuburkan marginalisasi, penegasian dan mengerasnya perbedaan kaya
dan miskin.
Tapi, dalam kondisi yang ada saat ini kita hanya dapat melihat "kebangkrutan
nasional". Demo ada di mana-mana meneriakkan kemiskinan dan daya beli yang
sudah ambruk. Perekonomian rakyat yang jadi wacana di mana-mana cuma semir
berbalut program yang tak kena sasaran. Merdu suara bantuan langsung tunai
kembali berdendang untuk kenaikan yang jelas-jelas tidak berimbang. Rakyat
bisa bikin apa di situasi yang semakin resah ini?
"Kita layak belajar dari pengalaman sejarah". Ini cerita saya dengan seorang
hukum tua di salah satu wanua di Minahasa Tenggara, kemarin siang. Temmy
Naray nama hukum tua itu. Ia mendera pengalaman sejarah. The Great
Depression yang terjadi pada awal 1928 di Amerika Serikat dan puncaknya
terjadi pada 29 Oktober 1929 dengan pemicu market crash yang dikenang
sebagai Black Tuesday.
Layaknya sebuah negara Adidaya, bila Amerika Serikat terpelanting, dunia pun
ikut terjungkal dalam lumpur krisis. "Amerika Serikat pernah mengalami
krisis yang hebat, tapi ia tak menghentikan pembangunan," urai Naray
bersemangat ketika saya mengatakan apa yang disebut Agus Poputra, pakar
ekonomi Unsrat di media tiga dimensi beberapa malam silam, bahwa, menunda
pembangunan adalah inefisiensi.
Inilah yang membuka wawasan kita dari pengalaman krisis di tahun 30-an itu,
yang mana Amerika Serikat justru membuka banyak lapangan pekerjaan. Subsidi
diubah menjadi proyek padat karya dan rakyat terus bekerja memutar
perekonomian dan pembangunan. Ketika badai krisis berlalu, infrastruktur
sudah siap, dan mereka melaju lagi dengan langkah tegap.
Tak layakkah pengalaman ini dicontoh pemerintah kita? Sudah terbukti bantuan
langsung tunai dan berbagai pengaman sosial di periode yang sudah lewat
bukanlah salah satu solusi yang tepat bagi rakyat miskin di Indonesia. Ada
gunanya memang, tapi ada yang hanya jadi pulsa handphone, ada yang menguap
percuma. Itulah sehingga kita punya ide untuk 'mencontek' apa yang dilakukan
Amerika Serikat di masa lampau itu. Gantinya memberikan bantuan langsung
tunai yang tak jelas arah dan juntrungannya, mengapa pemerintah tak membuka
lapangan kerja seluas-luasnya bagi banyak tenaga produktif yang sementara
ini menganggur.
"Proyek padat karya musti diperbanyak, bila masuk di akal, mesin digantikan
dengan tenaga manusia," tegas Naray. Betul! Setuju! Karena bila dikehendaki
oleh Yang Maha Kuasa, usai badai krisis ini, bila lapangan kerja dibuka maka
pembangunan di negeri kita mudah-mudahan sudah mengalami kemajuan pesat.
Krisis yang berguna sebagai pembangkit semangat.
Segala teori lagi menghantui dengan wacana. Kita hanya terbelalak dan kaget
pada kemajuan negeri seberang yang berlipat ganda, kemudian kita tertarik
untuk jalan-jalan ke sana untuk cari pengalaman? Wah, ini memang sudah
menjadi sesuatu yang hebat di negeri kita ini. Proyek jalan-jalan yang makan
biaya. "Berbagai kunjungan bila lewat dengan sirene pasti iring-iringannya
banyak. Padahal yang 'penting' di situ hanya satu dua orang saja." Di tengah
meroketnya harga BBM, kondisi jalan-jalan seperti itu masih saja marak!
Pengalaman krisis di negara Paman Sam seperti ditulis Aprilian Hermawan,
seorang wartawan Bisnis Indonesia yang mana negara-negara korban resesi
adalah mereka yang tergantung dengan industri berat. "Ekspor bahan baku pada
perdagangan internasional menurun tajam. Sektor konstruksi mandek di banyak
negara. Industri sektor primer: pertanian, pertambangan dan pengangkutan
menderita paling parah. Permintaan anjlok dengan sedikit alternatif
pengalihan pekerjaan sehingga pengangguran meluas.
Ekspor Amerika Serikat merosot dari US$5,2 miliar pada 1929 menjadi US$1,7
miliar pada 1993. Harga komoditas pertanian seperti gandum, kapas, dan
tembakau turun. Petani pun ikut merugi. Kondisi seperti inilah yang sudah
dikhawatirkan Alan Greenspan, mantan Chairperson Federal Reserve, jauh
sebelum peringatan IMF muncul. Perlambatan ekonomi global akibat meluasnya
krisis kredit subprime mortgage, tingginya harga minyak dan risiko resesi di
Amerika Serikat menjadi faktor utama yang memberi peluang terjadinya
peristiwa seperti depresi besar. Faktor lain yang perlu dicermati adalah
kecenderungan kenaikan harga beberapa komoditas pangan.
Berbeda dengan era resesi, di mana harga komoditas cenderung menurun,
kenaikan harga bahan pangan membuat tekanan inflasi sehingga menjadi faktor
tersendiri yang perlu diwaspadai, tidak terkecuali buat Indonesia," urai
Hermawan.
Beda masa, beda waktu antara Indonesia dan Amerika Serikat. Itu benar-benar
saya sadari. Namun, saya berharap krisis di negeri tercinta ini segera
berakhir. Kita niscaya bangkit, bukan karena kenangan sejarah kebangkitan
nasional, tapi dengan kerja keras yang disusun strategis dan terencana
berdasarkan skala prioritas.
Demikian pula, kita boleh berangan-angan, semoga pemerintah berada pada
posisi menentukan pilihan-pilihan prioritas dengan kebijakan yang
benar-benar membuat rakyat bangkit dari tidur panjang "kemalasan" karena
sistem yang mendesak punahnya partisipasi rakyat. Bila tidak, bersiaplah
untuk kebangkrutan nasional yang berkelanjutan.
Loading Image...
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): ***@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com
Kebangkitan Nasional atau Kebangkrutan Nasional
Oleh : Daniel A Kaligis
25-Mei-2008, 23:02:27 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Kita masih di sini, meramu kata bagi rasa, mata yang
membaca dalam kantuk yang tertahan, karena takut itu sudah beralasan,
jangan-jangan "kesalahan" diberitakan sebagai "kebenaran", naif kata
ejakulasi dan orgasme lupa tersalur, berita yang menghentar banyak tanya
tentang mereka yang sudah duduk di kursi empuk dan menjadi lupa diri untuk
meresapi sendiri. Bagaimana kebangkitan itu?
Mungkin saja berdiri dan jalan-jalan. Atau ia ada di alam sesudah kematian,
lalu bangkit dan menjadi hantu-hantu penasaran. Alinea mula ini mungkin
lebih tepat bagi perfilman dan pesinetronan kita yang dipenuhi dengan
hantu-hantu, badut yang kocak, pada beberapa waktu terakhir ini marak,
sehingga kita menyebutnya "bangkit dari kubur".
Hanya pembuka sebuah kenangan, lupakan saja ratusan tahun masa ketika kita
dijajah. Cerita kebangkitan nasional yang kontroversial. Ada yang menyebut
20 Mei 1908 tak pantas sebagai hari kebangkitan nasional sebab organisasi
yang mengusung nasionalisme di zaman itu, tokoh-tokoh yang berdiri di balik
pergerakan itu adalah Vritmejselareen alias pro penjajah.
Berseberangan dengan pandangan itu, ada yang menganggap 20 Mei 1908 sebagai
tonggak di mana bangkitnya semangat untuk bersatu sebagai bangsa-bangsa yang
terjajah untuk sadar memperjuangkan kemerdekaan, dampak politik etis yang
menderas sejak Multatuli.
Kini! Jangan tanya berapa hutang luar negeri kita yang sudah memaksakan
kemiskinan semakin mengental. Jangan tanya good govenance yang sudah
disinyalir sebagai sebuah pesanan yang juga akan mencabut subsidi rakyat
sehingga ketergantungan kaum kecil itu boleh di-drive negara. Kritik pedas
tentang negeri ini adalah ketika penerapan sistem kapitalisme sudah merajai
dan kita masih mengelak dengan berbagai argumen sambil terlena pada sistem
yang hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil
menumbuhsuburkan marginalisasi, penegasian dan mengerasnya perbedaan kaya
dan miskin.
Tapi, dalam kondisi yang ada saat ini kita hanya dapat melihat "kebangkrutan
nasional". Demo ada di mana-mana meneriakkan kemiskinan dan daya beli yang
sudah ambruk. Perekonomian rakyat yang jadi wacana di mana-mana cuma semir
berbalut program yang tak kena sasaran. Merdu suara bantuan langsung tunai
kembali berdendang untuk kenaikan yang jelas-jelas tidak berimbang. Rakyat
bisa bikin apa di situasi yang semakin resah ini?
"Kita layak belajar dari pengalaman sejarah". Ini cerita saya dengan seorang
hukum tua di salah satu wanua di Minahasa Tenggara, kemarin siang. Temmy
Naray nama hukum tua itu. Ia mendera pengalaman sejarah. The Great
Depression yang terjadi pada awal 1928 di Amerika Serikat dan puncaknya
terjadi pada 29 Oktober 1929 dengan pemicu market crash yang dikenang
sebagai Black Tuesday.
Layaknya sebuah negara Adidaya, bila Amerika Serikat terpelanting, dunia pun
ikut terjungkal dalam lumpur krisis. "Amerika Serikat pernah mengalami
krisis yang hebat, tapi ia tak menghentikan pembangunan," urai Naray
bersemangat ketika saya mengatakan apa yang disebut Agus Poputra, pakar
ekonomi Unsrat di media tiga dimensi beberapa malam silam, bahwa, menunda
pembangunan adalah inefisiensi.
Inilah yang membuka wawasan kita dari pengalaman krisis di tahun 30-an itu,
yang mana Amerika Serikat justru membuka banyak lapangan pekerjaan. Subsidi
diubah menjadi proyek padat karya dan rakyat terus bekerja memutar
perekonomian dan pembangunan. Ketika badai krisis berlalu, infrastruktur
sudah siap, dan mereka melaju lagi dengan langkah tegap.
Tak layakkah pengalaman ini dicontoh pemerintah kita? Sudah terbukti bantuan
langsung tunai dan berbagai pengaman sosial di periode yang sudah lewat
bukanlah salah satu solusi yang tepat bagi rakyat miskin di Indonesia. Ada
gunanya memang, tapi ada yang hanya jadi pulsa handphone, ada yang menguap
percuma. Itulah sehingga kita punya ide untuk 'mencontek' apa yang dilakukan
Amerika Serikat di masa lampau itu. Gantinya memberikan bantuan langsung
tunai yang tak jelas arah dan juntrungannya, mengapa pemerintah tak membuka
lapangan kerja seluas-luasnya bagi banyak tenaga produktif yang sementara
ini menganggur.
"Proyek padat karya musti diperbanyak, bila masuk di akal, mesin digantikan
dengan tenaga manusia," tegas Naray. Betul! Setuju! Karena bila dikehendaki
oleh Yang Maha Kuasa, usai badai krisis ini, bila lapangan kerja dibuka maka
pembangunan di negeri kita mudah-mudahan sudah mengalami kemajuan pesat.
Krisis yang berguna sebagai pembangkit semangat.
Segala teori lagi menghantui dengan wacana. Kita hanya terbelalak dan kaget
pada kemajuan negeri seberang yang berlipat ganda, kemudian kita tertarik
untuk jalan-jalan ke sana untuk cari pengalaman? Wah, ini memang sudah
menjadi sesuatu yang hebat di negeri kita ini. Proyek jalan-jalan yang makan
biaya. "Berbagai kunjungan bila lewat dengan sirene pasti iring-iringannya
banyak. Padahal yang 'penting' di situ hanya satu dua orang saja." Di tengah
meroketnya harga BBM, kondisi jalan-jalan seperti itu masih saja marak!
Pengalaman krisis di negara Paman Sam seperti ditulis Aprilian Hermawan,
seorang wartawan Bisnis Indonesia yang mana negara-negara korban resesi
adalah mereka yang tergantung dengan industri berat. "Ekspor bahan baku pada
perdagangan internasional menurun tajam. Sektor konstruksi mandek di banyak
negara. Industri sektor primer: pertanian, pertambangan dan pengangkutan
menderita paling parah. Permintaan anjlok dengan sedikit alternatif
pengalihan pekerjaan sehingga pengangguran meluas.
Ekspor Amerika Serikat merosot dari US$5,2 miliar pada 1929 menjadi US$1,7
miliar pada 1993. Harga komoditas pertanian seperti gandum, kapas, dan
tembakau turun. Petani pun ikut merugi. Kondisi seperti inilah yang sudah
dikhawatirkan Alan Greenspan, mantan Chairperson Federal Reserve, jauh
sebelum peringatan IMF muncul. Perlambatan ekonomi global akibat meluasnya
krisis kredit subprime mortgage, tingginya harga minyak dan risiko resesi di
Amerika Serikat menjadi faktor utama yang memberi peluang terjadinya
peristiwa seperti depresi besar. Faktor lain yang perlu dicermati adalah
kecenderungan kenaikan harga beberapa komoditas pangan.
Berbeda dengan era resesi, di mana harga komoditas cenderung menurun,
kenaikan harga bahan pangan membuat tekanan inflasi sehingga menjadi faktor
tersendiri yang perlu diwaspadai, tidak terkecuali buat Indonesia," urai
Hermawan.
Beda masa, beda waktu antara Indonesia dan Amerika Serikat. Itu benar-benar
saya sadari. Namun, saya berharap krisis di negeri tercinta ini segera
berakhir. Kita niscaya bangkit, bukan karena kenangan sejarah kebangkitan
nasional, tapi dengan kerja keras yang disusun strategis dan terencana
berdasarkan skala prioritas.
Demikian pula, kita boleh berangan-angan, semoga pemerintah berada pada
posisi menentukan pilihan-pilihan prioritas dengan kebijakan yang
benar-benar membuat rakyat bangkit dari tidur panjang "kemalasan" karena
sistem yang mendesak punahnya partisipasi rakyat. Bila tidak, bersiaplah
untuk kebangkrutan nasional yang berkelanjutan.
Loading Image...
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): ***@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com